Rasa Menjadi Kata
9:39:00 AM![]() |
Sumber gambar google |
Di balik suatu temu ada rahasia semesta dalam andil
menyatukan kita. Tapi untuk menjadi satu, ada dua yang harus melebur dari
kekerasan hati yang masih belum mau membaur. Di situlah kita terbentur dengan
kemauan kita yang masih simpang siur melewati batas suatu jalur. Tak ada garis
yang bisa mendamaikan ingin kita dan inginnya mereka (orang tua mu). Entah
siapa yang terlalu meninggi dengan ego tanpa memikirkan nasib hati. Dan entah
siapa korban di balik berakhirnya cerita ini. Di satu sisi, ada aku dan ketetapanku.
Ingin jadikan kita yang tak hanya cerita biasa, namun cerita sepanjang masa. Di
sisi lain, ada orang tua mu, juga dengan ketetapannya, yang tidak ingin kita
bersama namun kamu membiarkan diriku ikuti alur, sebuah arus rasa yang tak
menentu ke mana hendak menuju.
Mulanya, kita sejalan, kita tahu ke mana langkah kaki
mengarah. Beberapa persimpangan dilewati, beberapa keputusan besar diambil; tak
jarang mengorbankan ego hati. Dan kini, sampailah kita pada titik ini. Persimpangan
yang lain, tanda tanya besar yang lain. Seperti sudah lelah mengalah, kita tak
mampu bersepakat untuk memilih arah. Kita seperti harus memilih jalan tengah;
berpisah. Kemudian kita menyatukan beragam pikiran dari berbagai bagian.
Menyuarakan apa yang selama ini sudah menjadi pilihan. Ada beberapa hal yang
sudah mengalami perubahan, dan kita tak lagi sedang membawa kemesraan yang
pernah dibanggakan. Kesamaan-kesamaan yang pernah ada ternyata tak bisa untuk
saling beriringan bersama. Ada yang berbeda dari kita, lalu entah siapa yang
sudah menyadarinya sejak lama.
Sebenarnya aku ingin, terlepas dari semua mimpi yang tak akan pernah menjadi nyata, aku mau melewatinya lagi, menyatukan perca mimpi agar jadi seutuhnya
‘kita’ lagi. Tapi tidak pernah mereka (orang tua mu) ‘iya’ kan. Bahkan menyuarakan keinginan saja tidak
kau lakukan kepada mereka (orang tua mu). Sebenarnya kau pikir kau ini siapa? Berani menggenggam, lalu
semudah itu melepaskan, hilang entah jadi angin atau udara. Bukannya kamu
yang dulu berkata “jangan lepaskan genggaman”? Bukannya kamu yang
melahirkan angan-angan dan menghidupkan setiap harap yang berterbangan? Tapi
mengapa kamu sendiri yang menjatuhkannya jadi kepingan-kepingan kekecewaan yang
berserakan?
Keputusan ini nyaris berbentuk keputusasaan. Apakah
‘berpisah’ merupakan takdir yang harus kita nikmati?
Ku kira kamu menganggapku cukup berarti, maka kupertahankan
ikatan kita setengah mati. Ternyata, sebuah janji untuk melewati segalanya
bersama, bagimu hanyalah sekadar kata. Sementara aku terlanjur mengukir angan
kita satu per satu, dari ucapanmu kala itu. Cinta kita baik-baik saja, katamu
sembari menggenggam kepalan tanganku. Namun jurang yang kini menghampiri kita,
meninggalkan bibirmu bisu seketika. Kemudian masing-masing kita harus
meninggalkan impian-impian yang sempat terpahat, dengan langkah yang kurasa
semakin berat.
Pada genggaman tanganmu, aku pernah memercayakan masa
depanku. Yang kini harus segera kutata kembali supaya sebisa mungkin serupa
baru. Ada titik yang semestinya kutinggalkan, sementara aku masih diharuskan
untuk menanggung kecewanya sebuah perasaan. Meski tidak sepenuhnya bisa
melupakan, seperti kamu yang tidak semudah itu menyamakan kembali tujuan agar
sama seperti pada permulaan. Aku sedikit penasaran, apa masih ada kita yang kau
imbuhi harapan? Jika tidak, ini adalah terakhir kalinya aku menyapamu lewat
kata-kata. Bukan, bukan putus asa atau enggan menjejakkan kaki pada penantian,
tapi kupikir berjuang sendiri pun tak ada guna. Kamu harus tau satu hal, banyak
rencana-rencana yang tanpa sadar telah kuangankan denganmu sebelumnya, tapi itu
hancur beberapa waktu lalu. Kalau dengan melepaskanmu adalah pembuktian,
silahkan, lihat dari kejauhan.
Aku tidak akan memaksa hati untuk berjuang sendiri
mempertahankan kita yang tak ingin dipertahankan lagi. Pada akhirnya, kitalah
penulis yang menamati baris-baris perjalanan ini dengan pemberhentian. Tiada
lagi pena yang berlanjut mengeluarkan tinta cerita. Tiada lagi lembar kosong
yang menagih waktu kita untuk mendiskusikan skenario cinta. Tiada lagi mata
semesta sebagai pembaca yang akan menyaksikan kisah kita. Karena mengakhiri di
sini bukan berarti alarm bagi hati untuk berhenti memproduksi berlaksa rasa
pada sesiapa lagi. Nanti ada masanya dimana kita lelah mencari dan Tuhan
mendatangkan objek pengisi hati lagi. Lalu sedialah masing-masing hati untuk
bahagia kembali. Mungkin dengan cara ini, kita diberi jeda berlatih diri dan
menghentikan letih hati sambil mendewasakan perasaan. Hingga tibalah bahagia
yang akan kita jaga saat berperang melawan kecewa.
Selamat pergi, kamu. Selamat menyembuhkan hati, aku.
Percayalah, bahagia itu ada meski dengan atau tanpa kita.
Mungkin yang kini kita butuhkan adalah jarak, juga waktu.
Jarak agar kita tak saling bertemu. Dan waktu agar kita mampu sembuhkan luka
terlebih dahulu. Mencari pengganti hanyalah rencana hati. Sebab dalam dada ini,
tetap hanya ada kamu terpatri, sulit kuganti. Dan setelah ini, meski aku yakin
sulit bagiku untuk benar-benar pergi, namun tak mungkin untuk kembali lagi.
Kamu pernah menjadi tujuan akhir yang ternyata harus diakhiri. Kamu pernah
menjadi penghapus luka yang akhirnya mencipta duka. Kuberdoa pada semesta, agar
ini hanya jalan dariNya menuju bahagia; bukan hanya sebuah rencana yang tak
berakhir dengan semestinya. Selepas habis tangis ini, Tuhan, mohon ajarkan aku
memberi cinta dengan bijaksana.
Baik-baiklah di sana, kalau takdir kita tidak berakhir di
garis yang sama, pastikan kenangan telah kau abadikan dalam cawan
ketidakabadian.
postingan ini saya posting ulang dari sini karena saya sangat suka dengan semua tulisannya.
4 komentar
Setuju banget, bahagia itu pasti ada dengan atau tanpa kamu
ReplyDeleteTapi yang sudah terbiasa DENGAN dan akan melepas TANPA itu butuh betadin untuk menyembuhkan luka
Iyah butuh betadin berbotol botol bahkan mas cum ..
Deleteduhh touchy sekali tulisan ini :) tapi percayalah .. Tuhan sedang memperjalankan seseorang yang lebih baik mbak! .. kadang kita merasa apa yg kita pikir baik, eh ternyata gak baik, dan yang kita pikir gak baik malah itu yang baik .. mari move on! :D
ReplyDeletekeren sekali tulisanya
ReplyDelete